Aug 7, 2014

Memoar: Purwokerto 2014

"Write hard and clear about what hurts." - Ernest Hemingway


2007.
Namanya biasa dipanggil Tar, tubuhnya kecil tapi tinggi untuk ukuran orang di Desanya namun pikirannya seluas semesta. Setiap orang yang pernah mendengar cerita tentang Tar awalnya pasti berpikir tipikal gadis Desa lugu. Anda salah. Pola pikirannya seperti kaum urban yang selalu berpikir panjang dalam memutuskan sesuatu tetapi terkadang seperti anak kecil jika sudah berhadapan dengan Korean Wave atau Artis Korea. Karena pada dasarnya Dia, dan juga saya, hanyalah perempuan biasa.

Flashback ke 7,5 tahun yang lalu, awal tahun baru 2007, untuk pertama kalinya Dia dan saya bertemu.
"Mbak, kenalin. Saya Tar."
"Mia."

Singkat, padat, jelas. Saya bukan tipikal orang yang bisa langsung akrab dengan orang baru kecuali orang tersebut asertif lebih dulu, begitu pula dia. Kesan pertama yang Dia tangkap dari Saya pun hanya: "Jutek banget." Tante yang sangat berjasa memboyong dia ke Jakarta pun akhirnya berkata: "Buat dia betah, jangan digalakin, jangan sampe dia gak betah terus minta pulang lagi." Sebagai Sulung yang bertanggung jawab mengurus rumah dan urusan lainnya, akhirnya Saya mencoba memulai mengajaknya ngobrol. Dia 19, sedangkan saya 18. Kita masih sama-sama naif. Tapi karena mental dia sudah ditempa dari kecil dengan ikut bekerja di berbagai rumah orang, untuk beberapa hal dia jauh lebih dewasa dari umurnya.

"Kenapa mau kerja disini?"
"Karena katanya rumah ini cuman ngurus rumah, anak 2 dan 1 ekor anjing. Saya gak mau ngurus anak kecil atau bayi lagi."

2014. 1,2,3 hingga 7 tahun pun berlanjut. Kita berdua sudah nyaman dengan keadaan yang saling menguntungkan kedua belah pihak: Saya beruntung karena ada yang mengurus rumah dan menunggu saya pulang, dia diuntungkan dengan uang dan allowance lain yang dia dapatkan. Padahal kenyataannya kita bertolak belakang 180°; dia suka Korea, saya suka Jepang; dia suka kopi, saya suka teh, bahkan hingga urusan Pria. Namun tidak disangka kita bisa cocok satu sama lain. Sampai suatu hari Dia berkata: "Bapak saya sakit, kena stroke ringan. Tapi sekarang sudah gak apa-apa."

Dia yang terlebih dahulu tersadar bahwa kita tidak bisa hidup seperti ini terus: sebagai Wanita kita harus membina rumah tangga. Pada intinya, kita berdua sepakat kita tidak mau menikah hanya karena terpatok usia atau karena diomongin orang, kita mau menikah karena kita mau, karena kita sudah menemukan orang yang dirasa tepat. Oleh karena itu kita berdua butuh waktu untuk menemukan orang tersebut. Namun, dia pernah berkata dia masih ingin dinikahkan dengan Bapaknya sebagai wali. Siap tidak siap, ada kenyataan yang akan kita hadapi. Dia meminta berhenti bekerja setelah lebaran, saya setuju.

Tidak semua orang tahu kehidupan orang sesungguhnya, namun segala sesuatu itu memiliki alasan kuat dan cerita dibaliknya. Kita hanya mencoba memilih yang terbaik untuk kebaikkan kita sendiri. Untuk saat ini, fokus mencari pendamping hidup masuk dalam skala prioritas. Dia pun berkata, andaikan beberapa bulan dari sekarang dia belum menemukan orang yang dirasa tepat dan tidak ada pemasukan, dia akan mencoba mengadu nasib menjadi TKI. Sesuatu hal yang dirasa cukup riskan tapi itulah pilihan terakhir agar jauh dari omongan orang yang sebenarnya tidak perlu ikut campur dalam urusan hidup orang.

Setelah Lebaran, saya berjanji akan mengembalikannya, istilah yang kurang tepat namun mencerminkan situasinya, ke orang tuanya. Dia mengadu nasib ke Jakarta dijemput oleh sanak saudara saya, maka Saya berjanji membawanya pulang untuk mengucapkan terima kasih langsung kepada orang tuanya karena sudah mengizinkan dia bekerja 7,5 tahun ini. Suatu janji yang harus Saya tepati.

Day 1.
Terkadang perjalanan mudik tidak seperti perjalanan di hari biasa. Mayoritas penumpang didominasi oleh keluarga dengan anak kecil atau keluarga besar. Single traveler seperti saya *hiks* lebih menikmati suasana perjalanan itu sendiri selama perjalanan. Banyak hal menarik yang saya coba lihat sisi yang menariknya. Purwokerto terletak di Provinsi Jawa Tengah, berada di bawah kaki gunung Slamet dengan temperature udara yang dingin sekali di waktu malam dan pagi. Rumahnya terletak di Karang Tengah, dibawah kaki gunung Slamet. Entah kenapa masyarakat disini suka sekali minum kopi hitam bahkan hingga membuat bubuk kopinya sendiri, kalo tidak 'by-request' yang ada kita akan disuguhi kopi setiap saat. Sedangkan Mendoan sudah bagaikan makanan sehari-hari atau cemilan wajib. Jangan heran kalo hampir setiap saat Mendoan hangat dan Kopi hitam sudah bagaikan duet maut pangan sehari-hari.

Masyarakatnya sendiri bagaikan typical orang Jawa: kekeluargaan yang terasa lengket. Sayangnya bahasa masih menjadi kendala; tidak semua orang tua lancar berbahasa Indonesia. Jika sering mendengar bahasa ngapak di guyonan TV, nah, kalian akan sering mendengarnya dikehidupan sehari-hari. Kalo kalian masih membayangkan kehidupan pedesaan yang masih sederhana, tebakan kalian sudah tepat. Di tempat saya menginap sekarang ini masih menggunakan tungku kayu, mengambil air saja masih menimba air sumur dan ke toilet saja harus ke empang/toilet umum. Menikmati setiap detik kehidupan adalah anugerah yang harus kita jalani dan syukuri selama saya masih bernafas.
 
Day 2.
Misi utama harus terlaksana: mendapatkan tiket pulang ke Jakarta. Tiket kereta sudah habis hingga hari ke-8 bulan Agustus, bus Lorena pun menjadi pilihan. Setelah sukses mendapatkan tiket pulang, saya meminta Rosim, adik Tar mengantarkan ke Pasar untuk membelikan hadiah kecil untuk adik dan keponakan Tar. Entah kenapa setelah melihat langsung kondisi keluarga dan rumah Tar, tidak tega rasanya jika tidak membawakan sesuatu untuk isi rumah. Saya hanya berharap agar hadiah kecil ini bisa bermanfaat bagi keluarganya.

Menjelang sore, misi kedua segera dilaksanakan: mengunjungi Embah dan saudara dari pihak Nenek Ibu. Lucunya, pada perjalanan ke rumah Embah, entah sudah berapa banyak pria yang gatal berkomentar dan bahkan ada yang nekad sampai menghadang jalan kita meminta nomor handphone. Well, mungkin benar mereka seperti belum pernah melihat wanita sebelumnya. Wanita adalah species yang langka, atau bahkan mungkin mereka tidak pernah puas dengan satu pasangan. Wajar saja jika Tar sudah mengerti karakter mayoritas Pria di desanya.

Sebuah kenyataan pahit lain yang ada: kalo melihat dengan mata kepala sendiri akan mengerti bagaimana menyedihkannya kehidupan orang tua terutama di pedesaan. Dengan penyakit yang menggerogoti badan, bantuan anak cucu lah yang ditunggu-tunggu. 1 embah putri saya sudah buta, yang 1 sudah sulit berjalan, & 1 embah akung sudah tidak bisa melihat dengan jelas; miris. Sampai pada satu poin saya berpikir: saya tidak bisa membantu mereka semua namun saya akan membantu sebisa mungkin. Benar juga kata Tante yang mengatakan "Kalo sudah lihat sendiri akan tega-gak-tega."

Hal yang menyenangkan di Desa adalah semua terasa begitu lambat, apalagi jika kita menikmatinya. Bermain bersama anak kecil, atau jalan-jalan ke kaki gunung, atau main binatang pun lumrah saja. Saya menganggap ini liburan versi saya. Tidak memikirkan beragam hal yang lain, hanya menikmati setiap saat. Tar memiliki 2 keponakan bayi laki-laki bernama Fakih dan Restu, kerjaan saya tak lain hanya bermain-main dan nyiumin mereka berdua. Sedangkan 3 keponakan perempuan Tar yang sudah gadis mulai beranjak sadar kamera dan bersolek; Indri, Sunny dan Eno hanya berani main-main di dekat saya. Bertambah checklist to-do-list dalam kehidupan saya; "Menikmati kearifan lokal setempat" seperti kata sahabat pria saya.


 Day 3.
Desa itu seperti sudah memiliki alarm alaminya sendiri: suara lenguhan kambing dan petok ayam. Saya terbangun karena 2 hal itu ditambah bau tungku kayu Tar. Saya sudah bilang bahwa di Desa memiliki tungku sudah hal yang wajar, bahkan di tahun 2014 yang sudah modernisasi ini saja masih ada rumah yang menggunakan tanah sebagai lantainya. Itulah kenyataan hidup.

Tar rupanya sudah bangun dan belanja ke pasar, dia benar-benar tahu cara memanjakan seseorang; memasakkan masakan kesukaan saya. Saya merasa sangat bahagia apalagi jika bisa makan bersama keluarganya; karena tidak semua orang dapat merasakan kebahagiaan makan bersama keluarga. Saya sadar momen seperti ini tidak akan terulang lagi, maka saya memilih untuk menikmatinya saja. Setelah cukup mengisi energi, saya dan Tar bersiap-siap untk melaksanakan misi hari ini: mendaki Pancuran 7. Wisata alam yang saya gemari.

Di loka wisata Baturaden terdapat 2 sumber mata air panas belerang: Pancuran 7 dan Pancuran 3. Dua lokasi tersebut dinamakan berdasarkan jumlah pancuran atau sumber air panas belerang yang mengeluarkan air. Jarak menuju Pancuran 7 sekitar 2,5 km dari Baturaden dengan topografi yang *menghela nafas* turun naik lereng gunung. Udara dingin pun tidak membuat keringat saya berhenti mengucur. Lucunya, di perjalanan kami menemui seorang embah akung yang sudah renta namun masih kuat mendaki Pancuran 7 bersama keluarganya. Orang-orang pun berkata: "Mbah, makan opo toh mbah?" Saya yang banyak ngos-ngosan dan masih muda pun malu jadinya. Sebelum masuk Pancuran 7, kita harus membayar IDR 10.000/orang, bahkan dengan bujuk rayu manis Tar yang mengatakan Dia orang Karang Tengah pun tidak meluluhkan petugas loketnya. Mungkin Tar kurang latihan. Setibanya disana saya menemukan satu tempat yang cukup menarik: Petilasan Mbah Mata Angin. Masih pada lokasi yang sama juga terdapat Goa dan Tebing Selirang. Disana terdapat pertemuan air panas belerang dengan air panas dari mata air gunung Slamet. Tidak mau ketinggalan, saya pun mencoba sarana plus pijat Kaki oleh Juru Pijat Pancuran 7 dengan belerang asli gunung Slamet. Simplicity of Heaven on Earth.

Hari yang dinanti sudah tiba; malam ini saya akan kembali ke Jakarta, kembali ke kenyataan hidup. Sedih rasanya tapi bagaimana pun juga saya dan juga Tar memiliki kehidupan kami masing-masing. Setelah cukup makan dan istirahat setelah mendaki Pancuran 7, saya berkemas. Tidak ada kata-kata yang spesial keluar dari mulut Tar; sangat tipikal Tar sekali. Kita hanya ngobrol dan bercanda seperti biasa. Saat sudah waktunya pulang, Ibu Tar hanya memeluk erat saya dan bicara dengan bahasa Jawa ngapak yang saya tidak mengerti. Tar hanya bilang: "Makasih sudah datang, jangan kapok main lagi." Akhirnya, saya pun pergi diantar Tar dan saudaranya. Setibanya di Terminal, entah mengapa bus menuju Jakarta masih belum datang juga. Setelah menunggu 4 jam hingga jam 10 malam dan tanpa kejelasan apa pun, saya memutuskan kembali ke rumah Tar. Ternyata, beginilah keadaan transportasi terutama bus dikala musim mudik; segala sesuatu serba tidak pasti.

Saya sudah hopeless dan bingung; bagaimana saya pulang ke Jakarta? Bersyukur masih ada saudara yang masih perhatian dan khawatir dengan kondisi saya saat itu; berkat bantuan Tante saya berhasil mendapatkan tiket kereta untuk keesokan harinya. Tanpa pikir panjang saya langsung bayar tiket tersebut dan kembali ke rumah Tar. Di perjalanan pulang itu, tak henti-hentinya Tante memberi petuah: "Bersyukur kamu; Tuhan masih sayang sama kamu. Disaat keadaan yang tidak pasti seperti musim mudik ini, kamu malah dapat tiket pulang yang lebih pasti dan nyaman. Kamu harus lebih banyak sedekah nanti." I guess I am.
 

Day 4.
Seharian ini dari pagi hingga sore, hujan terus mengguyur tak henti-henti. Entah kenapa mungkin alam memang memaksakan kehendaknya agar saya lebih banyak menghabiskan banyak waktu bersama Tar dan keluarganya. Kami hanya bersantai di rumah, memasak, ngobrol, becanda dan menikmati menit. Tidak ada yang dapat memaksakan kehendak alam; jam 8 malam hujan baru berhenti setelah seharian ini mengguyur kaki gunung Slamet. Saya bergegas pulang sambil pamit ke keluarganya, tampaknya saya sudah lumayan betah, berat rasanya harus kembali ke kenyataan hidup namun disisi lain saya juga harus berjuang meneruskan hidup. Setibanya di Stasiun, saya ajak Tar ke Cafe ber-wifi karena saya tahu hal inilah yang ia nanti-nantikan dari dulu; browsing ria mengecek info K-Pop. Krik.

Ketika kereta yang saya akan tumpangi tiba, saya malah lebih bersantai-santai. Hingga waktunya kepala stasiun mengumumkan perihal keberangkatan kereta dalam 5 menit berikut, saya masih berbenah. Saya memang merencanakan ini; saya langsung berlari menuju pintu masuk peron dan sebelum masuk saya tidak berkata banyak. Hanya bisa memeluk dia dan berkata: "Jaga diri kamu baik-baik yah Tar, salam untuk keluarga kamu di rumah nanti." Bodoh rasanya menjadi orang yang tidak mampu mengekspresikan perasaannya saat itu, tapi lidah sudah terasa kelu serta merta menahan tangisan yang sudah ingin pecah. Tapi saya rasa Tar pun berpikiran yang sama, lebih baik tidak usah mengekspresikan apa pun ketimbang akan kepikiran lagi setelahnya.

Tiba-tiba saya teringat sewaktu Larry meninggal; saat sahabat berbulu saya akan dikuburkan di halaman samping rumah, saya malah memilih untuk langsung berangkat kerja dan beraktifitas seperti biasa walaupun saya tahu yang saya lakukan adalah membohongi diri sendiri, berpura-pura kuat. Namun, saya rasa inilah yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk kebaikkan kedua belah pihak.

PULANG
Sesungguhnya saya tidak tahu "rumah" saya dimana? Apakah arti rumah itu sendiri? Apakah hanya sebatas bangunan? Atau lebih dari itu berupa suatu perasaan dimana saya bebas menjadi diri saya sendiri? Selama perjalanan pulang saya terus memikirkan hal itu hingga saya tidak bisa tidur. Ketimbang bengong dan flash-back mengingatkan hal-hal yang pernah terjadi selama 7,5 tahun saya bersama Tar, saya lebih memilih untuk menelaah arti hidup dan apa yang saya mau di kehidupan ini. Sangat sulit rasanya bersikap seperti biasa ketika kamu terbiasa menghabiskan waktu dengan orang yang mau mengerti dan memaklumi keegoisan dirimu sendiri. Namun, ketika kamu sayang (baca: peduli) kepada seseorang, maka kamu akan membiarkan dia memilih kebahagiaannya sendiri dan melihatnya bahagia. Saya rasa benar kata orang-orang: Home is where your heart is. Saya pernah merasakan itu sewaktu Tar masih di Depok, dan sekarang giliran saya untuk menemukan "Rumah" saya yang baru.

*update : Beberapa teman menanyakan, "Bagaimana mi setelah ditinggal Mami Tar? Lo baik-baik saja kan? Bla bla bla." I can't find a word. Like Haruki Murakami said; "The pain is inevitable. But the suffering is optional." I'm just trying to keep sane.

Yuanita
August 2014

No comments:

Post a Comment



blogger template by lovebird